Kamis, 10 Maret 2016

Pasal dalam KUHPerdata Berkaitan dengan Perjanjian Pengangkutan

1. Sifat Hukum Perjanjian Pengangkutan

Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengangkut dan pengirim sama tinggi atau koordinasi ( geeoordineerd ), tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama tinggi atau kedudukan subordinasi gesubordineerd ). Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu :
a. Pelayanan berkala artinya hubungan kerja antara pengirm dan pengangkut tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan (tidak terus menerus), berdasarkan atas ketentuan pasal 1601 KUH Perdata.
b. Pemborongan sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tetapi pemborongan sebagaimana dimaksud pasal 1601 b KUH Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617  KUH Perdata ( Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan ).
c. Campuran perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran yakni perjanjian melakukan pekerjaan ( pelayanan berkala ) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving). Unsur pelayanan berkala ( Pasal 1601 b KUH Perdata ) dan unsur penyimpanan ( Pasal 468 ( 1 ) KUHD ).


2. Terjadinya Perjanjian Pengangkutan

Menurut sistem hukum Indonesia, pembuatan perjanjian pengangkutan tidak disyratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan ( konsensus ) diantara para pihak. Dengan kata lain perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil. Dalam praktek sehari-hari, dalam pengangkutan darat terdapat dokumen yang disebut denga surat muatan ( vracht brief ) seperti dimaksud dalam pasal 90 KUHD. Demikian juga halnya dalam pengangkutan pengangkutan melalui laut terdapat dokumen konosemen yakni tanda penerimaan barang yang harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang. Dokumen-dokumen tersebut bukan merupakan syarat mutlak tentang adanya perjanjian pengangkutan. Tidak adanya dokumen tersebut tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah ada ( Pasal 454, 504 dan 90 KUHD ). Jadi dokumen-dokumen tersebut tidak merupakan unsur dari perjanjian pengangkutan. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil.

3. Kedudukan Penerima

Dalam perjanjian pengangkutan, termasuk kewajiban pengangkut adalah menyerahkan barang angkutan kepada penerima. Disini penerima bukan merupakan pihak yang ada dalam perjanjian pengangkutan tetapi pada dasarnya dia adalah pihak ketiga yang berkepentingan dalam pengangkutan ( Pasal 1317 KUH Perdata ).

Penerima bisa terjadi adalah pengirim itu sendiri tetapi mungkin juga orang lain. Penerima akan berurusan dengan pengangkut apabila ia telah menerima barang-barang angkutan. Pihak penerima harus membayar ongkos angkutannya, kecuali ditentukan lain. Apabila penerima tidak mau membayar ongkos atau uang angkutnya maka pihak pengangkut mempunyai hak retensi terhadap barang-barang yang diangkutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar