1. Sifat Hukum Perjanjian Pengangkutan
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan
para pihak yaitu pengangkut dan pengirim sama tinggi atau koordinasi (
geeoordineerd ), tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan
para pihak tidak sama tinggi atau kedudukan subordinasi gesubordineerd ).
Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu
:
a. Pelayanan berkala artinya hubungan
kerja antara pengirm dan pengangkut tidak bersifat tetap, hanya kadang kala
saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan (tidak terus menerus), berdasarkan
atas ketentuan pasal 1601 KUH Perdata.
b. Pemborongan sifat hukum perjanjian
pengangkutan bukan pelayanan berkala tetapi pemborongan sebagaimana dimaksud
pasal 1601 b KUH Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal
1617 KUH Perdata ( Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan
pemborongan ).
c. Campuran perjanjian pengangkutan
merupakan perjanjian campuran yakni perjanjian melakukan pekerjaan ( pelayanan
berkala ) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving). Unsur pelayanan berkala (
Pasal 1601 b KUH Perdata ) dan unsur penyimpanan ( Pasal 468 ( 1 ) KUHD ).
2. Terjadinya Perjanjian Pengangkutan
Menurut sistem hukum Indonesia, pembuatan
perjanjian pengangkutan tidak disyratkan harus tertulis, cukup dengan lisan,
asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari pengertian diatas dapat
diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya
kesepakatan ( konsensus ) diantara para pihak. Dengan kata lain perjanjian
pengangkutan bersifat konsensuil. Dalam praktek sehari-hari, dalam pengangkutan
darat terdapat dokumen yang disebut denga surat muatan ( vracht brief ) seperti
dimaksud dalam pasal 90 KUHD. Demikian juga halnya dalam pengangkutan
pengangkutan melalui laut terdapat dokumen konosemen yakni tanda penerimaan
barang yang harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang. Dokumen-dokumen
tersebut bukan merupakan syarat mutlak tentang adanya perjanjian pengangkutan.
Tidak adanya dokumen tersebut tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang
telah ada ( Pasal 454, 504 dan 90 KUHD ). Jadi dokumen-dokumen tersebut tidak
merupakan unsur dari perjanjian pengangkutan. Dari uraian tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil.
3. Kedudukan Penerima
Dalam perjanjian pengangkutan, termasuk
kewajiban pengangkut adalah menyerahkan barang angkutan kepada penerima. Disini
penerima bukan merupakan pihak yang ada dalam perjanjian pengangkutan tetapi
pada dasarnya dia adalah pihak ketiga yang berkepentingan dalam pengangkutan (
Pasal 1317 KUH Perdata ).
Penerima bisa terjadi adalah pengirim itu
sendiri tetapi mungkin juga orang lain. Penerima akan berurusan dengan
pengangkut apabila ia telah menerima barang-barang angkutan. Pihak penerima
harus membayar ongkos angkutannya, kecuali ditentukan lain. Apabila penerima
tidak mau membayar ongkos atau uang angkutnya maka pihak pengangkut mempunyai
hak retensi terhadap barang-barang yang diangkutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar